Sargede merupakan salah satu perusahaan otobus tua di Yogya yang identik dengan warna kuning. Selaras dengan usianya yang sudah tua Sargede sarat dengan catatan sejarah namun kini kini pamor Sargede terkesan memudar semenjak PO-PO lain bermunculan. Kondisi tersebut menyebabkan BMC Korwil DIY tergerak untuk mengetahui lebih dalam sejarah Sargede sekaligus memberikan dukungan kepada Sargede agar tetap eksis. Perwujudan dari rasa ingin tahu dan dukungan terhadap Sargede maka BMC korwil DIY mengagendakan kunjungan ke Sargede.
Pada tanggal 21 Juni 2009 kegiatan BMC Korwil DIY memperoleh ijin dari Pihak Sargede untuk melakukan kunjungan. Mas Jatmiko selaku pemilik Sargede sangat antusias menerima kunjungan BMC Korwil DIY. Setelah seluruh peserta kunjungan hadir kami langsung diajak mencoba salah armadanya untuk dipakai berwisata ke Pantai Depok. Di sela perjalanan balik ke Jogja usai dari Pantai Depok, saya menyempatkan untuk mewawancarai Mas Jatmiko. Pribadi Mas Jatmiko yang ramah dan terbuka membuat suasana wawancara sangat hidup, beliau menjawab pertanyaan saya dengan detail. Pertanyaan pertama saya mengenai armada yang dimiliki, menurut penuturan Mas Jatmiko Sargede didukung oleh 6 armada bus besar AC bermesin MB dan satu bus mikro AC bermesin Mitsubishi. Untuk perawatan mesin armadanya tersebut Sargede memperkerjakan montir berstatus karyawan tetap sedangkan untuk perawatan body statusnya merupakan tenaga lepas.
Saat saya tanyakan mengenai tulisan di armadanya sedjak 1961, Mas Jat meluruskan hal tersebut karena sebetulnya setelah ditelusuri lebih mendalam ke leluhurnya ternyata eyangnya telah mengoperasikan bus semenjak tahun 1955. Pada tahun 1955 nama Sargede telah dipakai oleh eyangnya (Alm. Padmo Sarjono), SARGEDE singkatan dari Pasar Kotagede karena kebetulan rumah Eyangnya Mas Jatmiko pas di depan pasar Kotagede. Armada yang dimiliki di tahun tersebut 2 bus dengan mesin Fargo Trayek regular yang dijalani yaitu Yogya Wonosari dan Yogya-Semarang. Mengenai sejarah operasional di trayek tersebut hingga ditutup Mas Jat tidak banyak yang teringat. Namun ada satu hal yang membekas diingatanya yaitu pernah memiliki lahan di Semarang untuk garasi dan kantor seluas 5 ha padahal armada yang dipakai melayani ke Semarang hanya 3 bus. Selanjutnya Mas Jat menuturkan semenjak eyang Padmo meninggal bus dikelola Parmadi ayahandanya yang kondang sebagai seniman (jenaka KR) beliau sering tampil di TVRI Jogja. dan Dodge. Pada masa dahulu armada yang dimiliki Sargede tidak dipakai untuk bus pariwisata sebagaimana sekarang.
Pada tahun 1985 Pak Parmadi memutuskan bermain lagi di trayek regular dengan melayani trayek Yogya-Wonosari. Tujuan utama pembukaan trayek tersebut memberikan pelajaran pengelolaan bus kepada kakak Mas Jat. Sayang kiprah Sargede di trayek tersebut tidak lama karena di tahun 1987 berhenti, selanjutnya focus ke angkutan wisata. Memasuki era tahun 90’an Sargede mengalami masa keemasan armada yang dimiliki mencapai 22 bus. Di era tersebut tepatnya tahun 1992 Bpk Permadi sakit keras, beliau kemudian lebih memperhatikan usaha wisma dan hotel yang tidak terlalu menguras pikiran. Pengelolaan Sargede kemudian dialihkan kepada Mas Jat. Penunjukan Mas Jat mengelola bus dikarenakan menurut Pak Parmadi paling siap secara mental (sebelumnya ditahun 1991 telah dididik mandiri di Aussie saat menjalani pertukaran pelajar SMA).
Bpk Parmadi walaupun dalam kondisi sakit terkadang beliau masih menyempatkan untuk menengok usaha busnya serta terkadang berwisata dengan armadanya sendiri. Pada saat berwisata bus dirubah layaknya kamar pribadi (ada kursi, tempat tidur, almari) plus dengan tabung oksigen. Di tahun 1999 Pak Permadi akhirnya meninggalkan Sargede untuk selama-lamanya walaupun keluarganya telah berusaha maksimal untuk menyembuhkan sakit Pak Permadi hingga ke Eropa. Kepemilikan Sargede selanjutnya di tangan istri beliau namun pengelolaan masih ditangan Mas Jat.
Memasuki tahun 2000 Mas Jat membuka trayek Surabaya-Mataram bekerjasama dengan PO Damai Indah. Kerjasama tersebut terjadi karena Damai Indah tidak memiliki armada sendiri. Pasar yang dibidik di trayek tersebut adalah para TKI. Menyesuaikan dengan pasar tersebut maka pemberangkatan bus dari pelabuhan Perak bukan dari Purabaya. Pada tahun 2002 tingkat mobilitas TKI merosot tajam hal tersebut menyebabkan okupansi di trayek tersebut menurun. Imbas dari kondisi tersebut kerjasama kedua PO tersebut berakhir.
Titik Kritis
Pada tahun 2004 merupakan titik kritis eksistensi Sargede. Di tahun tersebut Bu Parmadi meninggal dunia. Eksistensi Sargede terancam saat pembagian warisan seluruh saudara Mas Jat tidak ada yang berminat untuk mengelola bus, dikarenakan seluruh saudara Mas Jat telah memiliki usaha sendiri-sendiri. Demikian pula Mas Jat dikarenakan telah memiliki pengalaman berinvestasi secara bersamaan antara usaha bus dan wisma, ternyata usaha wisma lebih cepat balik modal, maka ia kurang berminat mengelola bus. Berkat dorongan kuat dari saudara-saudara Mas Jat akhirnya ia bersedia meneruskan Sargede. Setahun menjadi pemilik Sargede ia melakukan penambahan armada dengan membeli Tri Sakti bermesin MB tahun 1984 dan bus wisata dari Klaten. Hal tersebut dilakukan untuk menangkap peluang pasar orderan bus wisata non AC. Kejeliannya membaca pasar berbuah manis armada eks Tri Sakti bermesin MB tahun 1984 dan bus wisata dari Klaten seolah-olah tidak mengenal garasi karena hampir tiap hari ada yang menyewa. Goncangan gempa di tahun 2006 meluluhlantakan kegemilangannya di bus wisata non Ac, karena mayoritas pengordernya merupakan warga yang terkena musibah (Klaten dan Bantul). Lebih tiga bulan sejak gempa kedua bus hanya dongkrok di garasi karena sama sekali tak ada order, maka Mas Jat menjualnya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas saat ini armada Sargede 7 bus, untuk memudahkan para penyewa maka Mas Jat memiliki kebijakan order via sms, FB, ataupun e-mail diperkenankan sedangkan pembayarannya bisa dititipkan pada driver yang bertugas. Kebijakan lain yang dilakukan Mas Jat yaitu merubah livery bus saat ini yang terkesan jenaka kembali ke identitas lama yaitu warna kuning. Mas Jat menuturkan livery jenaka menggantikan warna kuning karena dahulu saat warna identik dengan partai demi aman ia menggantinya dengan gambar lucu yang disenangi anak-anak. Sayangnya masyarakat merespon dengan mengira Sargede dengan corak lucu merupakan perusahaan berbeda walau nama tetap Sargede. Maka dengan penggantian livery ini bertujuan untuk meningkatkan order karena selama ini sebagian masyarakat mengira Sargede dengan livery gambar lucu bukan Sargede yang telah mereka kenal sebagai bus bereputasi baik. Selain livery hal lainnya yang dilakukan untuk meningkatkan order yaitu membeli bus non AC untuk memenuhi order bus wisata non AC yang melimpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar